Seiring dengan kemajuan teknologi penerbangan, pesawat kini dapat menempuh rute rute yang sebelumnya dianggap mustahil. Penerbangan dari Amerika Utara ke Eropa atau Asia yang melintasi Kutub Utara adalah satu contoh pencapaian luar biasa ini. Namun, ada pengecualian yang menarik: meskipun pesawat dapat terbang di berbagai rute ekstrem, mereka tidak langsung melintasi Samudra Pasifik.
Sebaliknya, pesawat cenderung memilih rute melengkung yang tampaknya lebih panjang, meskipun terlihat tidak efisien. Lalu, apa alasan di balik kebiasaan ini? Mari kita telusuri lebih dalam. Soal Penilaian Harian & Pembahasan Kunci Jawaban Geografi Kelas 12 SMA/MA Pola Keruangan Desa & Kota
Soal & Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Bab 2 Kurikulum Merdeka : Iklan, Slogan dan Poster Dilansir dari , biaya penerbangan menjadi satu faktor utama yang mempengaruhi pemilihan rute. Satu tujuan utama maskapai penerbangan adalah untuk menghemat waktu dan biaya.
Bahan bakar jet sangat mahal, dan maskapai berusaha seefisien mungkin dalam perjalanan, baik dari segi waktu maupun konsumsi bahan bakar. Sebagai contoh, pesawat seperti Boeing 747 dapat menghabiskan sekitar satu galon (4 liter) bahan bakar setiap detiknya, atau sekitar lima galon per mil (12 liter per kilometer). Selama penerbangan 10 jam, pesawat ini bisa menghabiskan hingga 36.000 galon (150.000 liter) bahan bakar.
Durasi penerbangan juga memengaruhi biaya operasional yang harus ditanggung maskapai, termasuk biaya bahan bakar, gaji kru pesawat, dan lainnya. Penumpang tentunya juga ingin sampai ke tujuan dengan cepat. Oleh karena itu, meskipun melintasi Samudra Pasifik secara langsung terdengar lebih cepat, kenyataannya rute melengkung justru lebih efisien dalam hal waktu dan konsumsi bahan bakar.
Rute penerbangan yang dipilih oleh maskapai sangat dipengaruhi oleh bentuk bumi yang tidak sempurna. Bumi bukanlah bola sempurna; ia agak pipih di sekitar kutub dan memiliki penonjolan di sekitar khatulistiwa. Hal ini disebabkan oleh rotasi bumi pada porosnya.
Diameter bumi di khatulistiwa adalah sekitar 12.756 km, sedangkan di kutub hanya sekitar 12.714 km. Artinya, jarak antar dua titik di bumi akan berbeda beda tergantung rutenya. Penerbangan yang mengikuti "Great Circle Route"—yaitu rute di sepanjang keliling bumi yang lebih kecil—dapat menghemat banyak waktu dan bahan bakar.
Selain itu, maskapai juga sering memilih rute yang melewati jet stream, yaitu arus udara cepat yang dapat mencapai kecepatan lebih dari 320 km/jam. Terbang di jalur ini memungkinkan pesawat untuk tiba lebih cepat dengan konsumsi bahan bakar yang lebih rendah. Rute melengkung ini juga membantu menghindari arus udara berlawanan (counter jet streams) dan turbulensi yang bisa memperlambat penerbangan.
Selain faktor efisiensi bahan bakar, alasan lain mengapa pesawat tidak terbang langsung melintasi Samudra Pasifik adalah karena kurangnya tempat pendaratan darurat. Sebagai samudra terbesar di dunia, Samudra Pasifik tidak memiliki banyak lokasi strategis yang bisa digunakan pesawat untuk mendarat dalam keadaan darurat. Meskipun pilot dilatih untuk mendarat di laut, melakukannya di tengah samudra yang luas penuh dengan ombak dan angin kencang tentu sangat berisiko.
Jika terjadi masalah seperti kegagalan mesin atau keadaan darurat medis, pilihan rute yang melintasi banyak bandara memungkinkan pesawat untuk mendarat dengan cepat dan aman. Misalnya, jika terjadi kerusakan mesin di tengah penerbangan, pesawat yang terbang dekat dengan bandara memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendarat dengan aman. Terbang di atas Samudra Pasifik dengan mesin yang rusak jelas akan menjadi skenario yang sangat berbahaya bagi pilot, meskipun mereka adalah yang paling berpengalaman sekalipun.